Minggu, 04 November 2018

SECANGKIR KOPI

Musuh terbesar manusia sejatinya adalah dirinya sendiri.
Manusia mampu melawan apa saja, bahkan dalam situasi yang terberat dalam hidupnya. Alam yang ganas, binatang buas, bahkan samudera yang luas. Tetapi ketika ia berhadapan dengan dirinya, banyak manusia yang menyerah..
Jiwa itu seperti sebuah gelas yang mudah pecah. Ketika kosong ia tidak stabil dan ketika terlalu penuh ia tumpah.
Kekosongan jiwa manusia berawal dari ketidakpahamannya terhadap apa arti dirinya. Ia cenderung menyalahkan dirinya, mengalahkan dirinya bahkan pada titik tertentu ia membunuh dirinya.
Hidupnya penuh dengan ketidaktahuan, tetapi ia selalu mengambil kesimpulan. Pemikirannya selalu suram karena ia terbelit dengan kekurangan dirinya. Ia tidak mampu mengambil sedikitpun apa kelebihannya. Depresi adalah teman baiknya. Dan sendiri adalah tempat tidurnya.
Ia berkubang dalam lumpur penyesalan dengan penuh kenikmatan tanpa sadar bahwa ia semakin tenggelam. Ia hidup tetapi mati. Labil dan mudah goyah ketika tersentuh kibasan angin. Ia rentan bahkan terhadap sapaan. Cara berfikirnya kompleks seperti masuk dalam labirin yang tidak bertepi.
Ia menyerah pada musuh terbesarnya.
Disisi lain, ada manusia yang penuh dengan kebanggaan dirinya.
Ia mengisi gelas jiwanya dengan air sebanyak-banyaknya, mereguk kenikmatan dunia dengan serakus-rakusnya. Ukurannya adalah dunia. Materi adalah berhalanya. Seperti balon udara, ia terbang tak terkendali dan bergantung pada hembusan angin yang memuji.
Untuk memenuhi tuntutan jiwa kesombongannya, manusia seperti ini biasa menghalalkan segala cara. Ia tinggi ketika berhadapan dengan mereka yang lebih rendah dan ia menjilat ketika berhadapan dengan mereka yang lebih tinggi. Ia melihat semua hal dengan kacamata ukurannya. Pintar tapi tak berguna. Dirinya tampil sebagai berhala.
Kekalahan dia bukan saja karena ia tidak mampu menundukkan dirinya, ia justru memelihara sifat binatang yang menguasainya. Ia manusia dalam fisiknya tetapi nalurinya adalah naluri pemangsa.
Pada titik ketika ia berada pada puncak gunung tertinggi, ia menjadi Tuhan. Dan pada titik dimana ia tenggelam dilautan dalam, ia menyalahkan Tuhan.
Itulah kenapa disebut pertarungan terbesar manusia adalah pertarungan melawan dirinya. Karena itulah pertarungan abadi yang pasti dihadapi.
Manusia seharusnya belajar dari secangkir kopi..
Secangkir kopi adalah wujud dari kemampuannya mengenal diri. Ia bisa berada dimana saja, di tempat tertinggi maupun terendah tanpa pernah kehilangan nikmatnya. Ia bisa dinamakan apa saja, tetapi nama aslinya tetap menjadi panutan. Ia pahit untuk menyadarkan. Manusia bisa menambahkan pemanis sesuai ukuran supaya mendapat kenikmatan..
Hiduplah seperti secangkir kopi.
Ia tidak tiba-tiba ada di atas meja terhidang. Ia mengalami proses panjang dari biji kopi sampai ada didalam cangkir, yang membuatnya menjadi teman berfikir yang matang.
Secangkir kopi memang penuh dengan pembelajaran..
- Denny Siregar -

https://www.baboo.id/penulis/denny-siregar-12/aku-musuhku-4780

Tidak ada komentar:

Posting Komentar